DAIRI DALAM KILATAN SEJARAH


(Teks ini dipetik dari buku DAIRI DALAM KILATAN SEJARAH, karangan Jansen Sinamo, Flores Tanjung, dan Hasudungan Sirait).

Pegunungan Bukit Barisan melintang di sepanjang Pulau Sumatera dengan posisi yang jauh lebih dekat ke pantai barat. Tanah Dairi terl...etak di lintangan ini. Kedudukannya: di utara berbatasan dengan Karo, di timur laut dengan Karo dan Simalungun, di timur dengan Simalungun dan Samosir, di tenggara dengan Samosir dan Humbang Hasundutan, di selatan dengan Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Manduamas yang sejajar dengan Barus), dan Aceh (termasuk Singkil). Adapun perbatasan mulai dari barat daya hingga barat laut adalah Aceh.

Tanah Dairi biasa juga disebut ”Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya memang orang Pakpak. Sejak tahun 2003 Dairi sebagai kabupaten telah dipecah. Hasilnya adalah Kabupaten Pakpak Bharat di belahan selatan. Dengan begitu wilayah Kabupaten Dairi yang semula sekitar 314.000 hektar kini kurang lebih tinggal separo. Setelah pemecahan ternyata sebutan “Tanah Pakpak” tadi masih saja jamak dipakai. Wajar memang sebab penamaan tersebut sudah sejak dahulukala. Bukankah tak mudah mengubah sebuah kebiasaan lama? Dalam kitab ini pun kedua sebutan masih akan dipakai bergantian untuk mengacu hal yang sama.

Tadi telah disebut Dairi berada di lintangan Bukit Barisan. Konsekuensinya adalah kedudukannya di dataran tinggi dengan posisi lebih dekat ke pantai barat. Beratmosfir pegunungan, itulah Dairi. Konturnya bertakik-takik; di sejumlah kawasan bahkan ekstrim sehingga dinding-dinding bukit terjal dan jurang menjadi pemandangan yang dominan. Rata-rata ketinggian wilayah kawasan ini 700-1.250 meter di atas permukaan laut (dpl). Sebagian kecil kawasan sampai berketinggian 1.600 meter dpl. Sidikalang sendiri, ibukota Dairi, berada di ketinggian 1.066 meter dpl. Iklim Dairi mudah ditebak. Bukan berhawa panas dan lembab alias tropis, melainkan di bawahnya. Bisa disebut subtropis. Hasil alamnya yang khas pun becorak produk hutan pegunungan: kapurbarus, kemenyan, nilam, dan kopi, itu yang paling mashyur sejak dulu. Belakangan ada gambir, kemiri, dan jagung.

Sebenarnya Dairi tak seberapa jauh dari ibukota Sumatera Utara. Jarak Medan-Sidikalang hanya berkisar 150 kilometer. Jarak yang dalam kondisi normal bisa dicapai sekitar tiga jam dengan kendaraan pribadi. Lintasannya eksotik sehingga pasti disukai para penikmat alam. Katakanlah kita akan melawat ke Sidikalang. Setelah meninggalkan Medan kita akan disambut alam Karo yang elok. Jalan menuju Berastagi yang menanjak berkelok-kelok kemungkinan akan kontan mengingatkan kita pada kitaran Cisarua-Puncak-Cipanas, terutama sejak lokasi pemandian Sembahe. Hutan terjaga yang menghampar di sepanjang kedua sisi jalan menuju Sibolangit merupakan kelebihan kawasan ini dibanding jalur Puncak yang tersohor. Sejak dari Berastagi ladang menghampar menjadi penampakan yang umum. Pun selewat Kabanjahe dan Merek yang di sisinya menghampar Tongging dan tepi Danau Toba bagian utara. Nyata betul bahwa agribisnis merupakan penghidup penduduk Karo. Namun, selepas wilayah Karo atmosfirnya menjadi lain.

Setelah melewati perladangan yang penampakannya tak serapi yang di Tanah Karo, hutan sekarang yang membentang. Lae Pondom namanya, dibelah oleh jalan beraspal milik negara. Sampai awal 1980-an penumpang bus sesekali masih bisa melihat harimau melintas di atas aspal tersebut. Masih terjaga, Lae Pondom adalah hutan subtropis khas Indonesia. Mereka yang ingin mengetahui seperti apa gerangan atmosfir hutan Indonesia yang sebagian besar sudah punah sebaiknya datang ke kawasan penyumbang utama air untuk Danau Toba ini[1]. Setelah Lae Pondom kemudian Sumbul yang menjelang. Lantas Sitinjo dan akhirnya Sidikalang.
Kendati Medan-Sidikalang tak jauh dan lintasannya eksotik, tak banyak orang dari ibukota provinsi Sumatera Utara itu yang pernah menjejak bumi Dairi. Biasanya sampai kota wisata Berastagi saja mereka. Yang lanjut hanya sebatas mereka yang berkampung di Tanah Pakpak atau menjalankan urusan dinas ke sana. Satu lagi, yang akan menghadiri pesta adat. Kalau orang Medan saja demikian, bisa dibayangkan mereka yang berasal dari tempat lain yang lebih jauh. Namun, keadaan mulai berubah setelah Taman Wisata Iman (TWI), di Sitinjo, pinggir Sidikalang, berdiri tahun 2005. Sejak itu tanah Dairi mulai dijejak oleh turis termasuk dari Jakarta bahkan mancananegara. Sesungguhnya keterpencilan Dairi sebelum pembukaan TWI ini merupakan ironi. Terutama kalau kita mengingat sejarah lama.
****

Kapurbarus
Tanah Dairi sebenarnya sejak lama telah berhubungan dengan dunia luar, termasuk mancanegara. Kontak itu memang tidak langsung, melainkan lewat Barus, tetangga di selatan. Sudah sejak zaman prasejarah Barus termashyur sebagai bandar internasional. Dan untuk ketersohoran tersebut, Tanah Pakpak punya kontribusi besar. Sayang sampai sekarang andil ini hampir luput dari catatan sejarah. Sebelum membahasnya, kita telaah dulu Barus dengan kebesaran masa lalunya.

Barus masa lalu—sebutan lainnya Fansur (Arab) dan Pansur (Batak)—identik dengan dua hal, yakni kamper atau kapur barus dan penyair mistik Hamzah Fansuri yang memang lama tinggal di sana. Di antara keduanya kamperlah yang paling lekat dengan nama tempat ini. Dalam pengetahuan umum kota kecil di pantai barat Sumatera inilah penghasil kamper yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya.

Sejak lama, sebelum tarikh Masehi, kamper yang di negeri kita bersebutan “kapurbarus” telah menjadi komoditas dunia. Barang ini dahulu bernilai tinggi, setara emas. Maksudnya satu kilogram kamper bernilai tukar sekilogram emas. Mahal karena faedah atau khasiatnya banyak. Penggunaannya yang jamak adalah di dunia pengobatan (ketabiban dan kedokteran) serta keobatan (farmasi). Menurut kisah lawas, champor (kapurbarus) menjadi salah satu unsur ramuan yang dipakai dalam mengawetkan jasad penguasa Mesir (firaun) terkemuka, Ramses II. Mummi raja yang berkuasa pada kurun tahun 1279-1213 sebelum Masehi tersebut telah dibawa ke Paris tahun 1974 untuk diperiksa. Masalahnya hasil pembalseman tersebut (kini berada di Meseum Mesir) kian rusak saja digerogoti jamur. Cerita lain menyebut salah satu wewangian yang dibawa kaum Majus sebagai persembahan untuk bayi Yesus yang baru lahir di Betlehem kapurbarus juga. Kemenyan disebut juga bagian dari seserahan mereka kala itu; hanya saja tak disebut dari mana asalnya.

Ihwal kapur dari Barus sudah ada catatannya di awal tarikh Masehi. Salah satunya dibuat Claudius Ptolemaeus (90-168) seorang Yunani Alexandria (Mesir) yang merupakan ahli astronomi, astrologi, dan geografi terkemuka. Dalam karya akbarnya, Geographia, ia menyebut Barousai penghasil kamper. Kalaupun tak dicatat, di masa itu ihwal kapurbarus setidaknya sudah dipercakapkan dalam pelbagai bahasa, termasuk Yunani, Syria, Cina, Tamil, Arab, Armenia, Jawa, dan Melayu.[2]

Sejak abad ke-6 kapur dari Barus dikenal di berbagai kawasan yang terbentang dari Cina ke Laut Tengah yang memisahkan Eopa dengan Afrika. Sebab itu, catatan tentang komoditas ini pun makin banyak. Tersebutlah catatan dari Dinasti Liang dari Cina selatan (abad ke-6), I-tsing (tahun 692), Ibnu Chordhadhbeh (tahun 846), Marco Polo (tahun 1292), dan Ibnu Batutah (tahun 1345), misalnya. I-tsing adalah seorang rahib Buddha yang sempat tinggal bertahun-tahun di Sriwijaya saat berziarah dari Cina ke India. Marco Polo seorang pengelana Italia yang sempat singgah di Pasai (Aceh). Ibnu Batutah orang Berber dari Tangier (Afrika Utara). Dia kemungkinan telah menjejak tanah Barus dalam perjalanan ke pantai barat Sumatera.

Kendati telah banyak disebut, sejauh itu belum jelas yang mana sebenarnya Barus, negeri sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Tabir Barus masih saja gelap. Pasalnya pelukisan oleh para penjelajah-penulis tadi tidaklah sama. Ptolemaeus, misalnya, menggambarkan Barrous sebagai kawasan lima pulau. Penulis lain ada yang menyebut lokasinya di Semenanjung Malaka. Di Aceh adanya, tulis yang lain. Perujuk Barus sekarang memang ada juga. Jauh dari sinkron informasi mereka; simpang siur jadinya. Kekarut-marutan penggambaran ini tentu mudah kita pahami. Pada masa I-tsing, Ibnu Chordhadhbeh, Marco Polo, atau Ibnu Batutah pengetahuan geografis orang masih sangat terbatas sebab pelayaran lintas benua masih sangat sedikit dan teknologi navigasi masih begitu sederhana. Apalagi di masa Ptolemaeus.
****

Simpang Siur
Kesimpangsiuran ini berlangsung lama. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada ahli yang meragukan bahwa Barus sekaranglah yang dirujuk sebagai sumber kamper “yang paling tinggi mutunya dan paling murni sifatnya” itu. Dasar keraguan mereka ada beberapa. Pertama, sejak dulu kamper tak hanya datang dari Barus sekarang, tapi juga dari Borneo (Kalimantan), Semenanjung Malaka, dan Jepang. Sebagai catatan, kamper—sebuah bahan keras, bisa berupa pasir—merupakan hasil oksidasi minyak yang terdapat dalam sel-sel khusus yg mengeluarkan bahan ini. Sel-sel ini terdapat di semua bagian pohonnya. Terdapat dua jenis kamper dari keluarga berbeda: (1) Dryobalanops aromatica Gaertn dari keluarga Dipterocarpaceae mengasilkan kapur Borneo dan (2) Cinnamonum camphora (L.), Nees, dan Ebern dari keluarga Lauraceae atau kamper Jepang. Jenis pertama ini jauh lebih bernilai secara ekonomis. Hanya setelah kamper hasil pabrikan muncullah nilainya merosot tajam.

Komentar

Postingan Populer