Bunderan SIB, Cerpen John Fawer Siahaan !
Bundaran SIB
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
Berulang kali aku telah menghubunginya tetapi jawaban, jawaban yang dia berikan selalu saja bentar, bentar, bentar, ntah sampai kapan jawaban itu berhenti, sial pikirku padahal pulsa untuk menghubungi dia telah begitu banyak, maklum nomor yang kupakai berbeda dengan dia, padahal semalam aku telah mengingatkan dia, tapi toh juga tak ada guna,
Kemarin juga aku telah menyuruh dia untuk membuat pertemuan ini dalam catatan dia, ntah kenapa bisa jadi begini padahal kami telah berjanji untuk bertemu tepat pukul Sembilan pagi, padahal sekarang jam ditanganku telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, tetapi batang hidungnya juga belum juga nongol. Alah pikirku mungkin saja dia tak ikut, tetapi kenapa dia selalu bilang bentar bentar, dengan perasaan kesal aku pergi lebih duluan karena sampai kapan pun aku menunggu belum tentu juga dia datang.
Sang mentari pagi saat itu sangat tak bersahabat, padahal waktu ini masih tergolong pagi, tak terasa keringatku pun bercucuran, ditambah rasa kesalku terhadap dia semakin mempercepat air keringatku bercucuran, ahir-ahir ini memang cuaca sangat tidak bersahabat, yang biasanya sejuk kini telah berubah panasnya, panas bumi aja sudah seperti ini gimana lagi dalam neraka tanyaku dalam hati. Aku pun tak tahu kenapa aku harus memakai kata neraka, padahal aku hanya mendengar ketika aku masih kecil dulu bahwa neraka itu sangat panas.
Belum lagi lampu merah yang selalu menghambat jejak langkah busku, yang hampir disetiap persimpangan selalu ada, aku pun tak tahu kenapa begitu banyak lampu merah dikota ini, aku semakin tidak nyaman dengan suasana ini ditambah lagi pedagang kaki lima yang menempati beberapa ruas jalan, sehingga macet pun bukan lagi hal yang asing di negeri ini.
Pengamen jalanan yang bertabur dimana-mana, yang semakin membuat aku merasa tak nyaman dan ingin memberikan pengaduan, tapi aku tak tahu harus mengadu sama siapa, tak berapa lama handphoneku berdering dengan nada sms Indonesia Raya, aku tak tahu kenapa ketika nada smsku berbunyi Indonesia raya, para penghuni bus langsung menatapku dengan aneh, apa memang lagu itu asing didengar lagi sekarang sehingga semua melihatku dengan aneh, atau kah lagu itu hanya diperbolehkan pada saat upacara saja, atau bisa saja rasa nasionalisme itu memang tidak ada lagi. Aku jadi terlupa akan sms yang masuk di hanphoneku karena tatapan asing yang menodongku, dengan buru-buru handphoneku kubuka, ternyata hanya berisi berita, aku tidak bisa ikut, pengirim Togap.
Togap adalah nama kawanku yang kutunggu-tunggu dari tadi bertubuh besar rambut gondrong, kumal, aktivis bangatlah ga mandi satu minggu itu hal yang biasa demi sebuah identitas, dia orang yang selalu penuh semangat tetapi pelaksanaan selalu nol, aku selalu berjuang dengan dia sehidup semati bahkan apapun yang terjadi kami selalu sama. Togap tidak komit dengan janjinya ini bukan lagi hal yang pertama tetapi sudah terlalu sering, tetapi entah kenapa dia selalu bisa mencari alasan supaya dia lepas dari sangsi yang akan kubuat untuknya.
Berbekal dari kejenuhan di Kampus, Aku dan Togap mencari suasana yang berbeda, yaitu aktif diberbagai komunitas, dulu niatan hanya untuk mecari kawan kini telah berubah, proses telah membuat pola pikir kami berubah, dulunya kami tidak peduli dengan masalah orang lain sekarang kami sudah mulai peduli meskipun kami kurang tahu akan arahan yang kami lakukan, tapi tak apalah pikirku ini adalah pembelajaran, dan kata-kata itulah yang selalu muncul dari mulut Togap untuk menyakinkan aku, untuk tetap bersama.
Tema lingkungan, pendidikan, pedagang kami lima, kaum miskin kota, itulah beberapa bagian yang harus kami perjuangkan dengan komunitas yang kami bangun selama ini, meskipun tiada yang mendengar tapi hal itu selalu kami sorakkan didepan orang yang begitu banyak, supaya orang tahu akan hal itu.
Waktu yang cukup membosankan terasa sudah tetapi aku sudah sampai ditempat kami para aktivis menyuarakan segala unek-uneknya, aku telah terlambat dalam hitungan jam, sehingga aku tak mengikuti lagi alur dari perjalanan aksi kali ini, aku sebenarnya tidak terlambat kian tetapi karena ulah si Togap sehingga aku harus telat, dan dihujani ribuan pertanyaan kenapa aku telat datang, jadi sah-sah saja aku memkambing hitamkan si Togap dalam masalah ini. suara-suara begitu kuat terdengar maklum para aktivis selalu mengunakan pengeras suara untuk mendengungkan kekesalannya terhadap sistem yang salah di negeri ini. Toak itulah sebutan alat yang sering dipakai, aksi tanpa toak mungkin serasa sayur tanpa garam.
2 Mei sebagai hari peringatan pendidikan, yang jatuh pada hari itu juga aku ikut turun kejalan dulunnya tetap ingin dengan Togap tetapi Dia ada urusan, Togap ahir-ahir ini sama seperti pejabat saja selalu sibuk, ntah apa yang disibukkannya. Suara-suara tentang pendidikan gratis selalu saja kudengar dari pria yang berambut gondrong itu, maklum dia seorang aktivis yang selalu identik dengan rambut gondrong,
Wujudkan pendidikan gratis…. Wujudkan pendidikan gratiiiiissss kata orang yang pernah kudengar. Aku pun kadang bertanya kapan negeri ini bisa pendidikan yang serba gratis semua sampai perguruan tinggi, memang bisa sih, tapi melihat budaya korupsi yang melekat ratusan tahun yang lalu seolah hal yang mustahil.
Tapi aku juga sering mendengar ketika kampanye dulu, para belit-elit itu berjanji akan memberikan pendidikan gratis, aku tahu memang tahu itu omong kosong belaka, tapi apakah kawan-kawanku tahu akan itu semua, mungkin maseh banyak orang-orang yang belum lupa akan hal itu, buktinya saja, Togap sering menunjukkan samaku foto-foto para elit politik yang masih terpampang dipohon-pohon dan trotoar dengan janjinya dulu. Kanapa ya foto itu masih tetap terpampang, ah pusing mikiri itu semua, bisa saja negeri ini tak punya petugas untuk membersihkan itu lagi.
Dengan kekesalalanku melihat negeri ini aku maju kedepan massa untuk menyuarahkan unek-unek yang membeku dalam jiwaku, kusuarakan sama seperti kawanku yang lain, wujudkan pendidikan graris, realisasikan APBN yang 20% untuk pendapatan. Tapi aku bingung sama siapa teriakku ini, telah berulang kali kawan-kawanku meneriakkan ini tapi toh juga tidak ada hasil, mungkin sudah puluhan tahun yang lalu teriakan ini diteriakkan.
Pikirku dalam hati mungkin saja kami yang datang ini hanya membawa toak dan secarik kertas sehingga banyak orang-orang tidak mempedulikan kami, padahal para elit politik itu selalu membawa lembaran uang kertas dengan janji-janji palsu atau benar aku pun tak tahu. Sehingga orang-orang pun selalu berkerumun pada saat dia orasi politiknya, sedangkan kami hanya dikerumuni militer berseragam lengkap, yang siapa memboyong kami ke penjara, bussyet dah pikirku dalam hati.
Aku hanya tertawa dalam hati dan sedih kepada siapa pengaduan ini kami sampaikan, telah berulang kali tapi toh juga tiada hasil, hahahahaha lebih baek aku tertawa saja mungkin saja kalau aku jadi presiden ini semua bisa tercapai tetapi presiden apa ya, mimpi kali….
Bundaran SIB, 2 mei 2010
*) John Fawer Siahaan, Cerpenis ini saat ini tinggal di Sumatra Utara berbagai aktifitas kesenian dilakoninya mulai dari teater sampai hingga drama kolosal. (Wrh/RIMA)
sumber: http://www.rimanews.com/read/20130208/91298/bunderan-sib-cerpen-john-fawer-siahaan
foto : Jhon Fawer Siahaan
Komentar
Posting Komentar