Sisi Lain Raja Tonggo Tua Sinambela, Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja Ke-12


Sisi Lain Raja Tonggo Tua Sinambela, Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja Ke-12
Mega Simarmata, Pemred KATAKAMI


JAKARTA (KATAKAMI) Tak banyak yang bisa mengetahui sisi lain dari kehidupan keturunan langsung Raja Sisingamangaraja Ke-12 yaitu Ir. Raja Tonggo Tua Sinambela.Ia adalah anak kedua dari pasangan Raja Patuan Sori Sinambela, yang menikahi Maria Magdalena Boru Pasaribu.



Yang membuat saya bisa menyampaikan kesaksian tentang sekelumit kisah cicit kandung dari Raja Sisingamangaraja Ke-12 ini karena didalam diri kami mengalir darah yang sama. Ibu saya, RA Pasaribu, lahir dari anak seorang Pengusaha sangat terkenal di kampungnya yaitu di Pangururan, Pulau Samosir – Almarhum Somuntul Bungajalan Pasaribu yang menikah dengan Tamelan Boru Naibaho. Pasangan ini memiliki 2 orang puteri yaitu RA Pasaribu (ibu saya) dan Maria Magdalena Pasaribu (ibu dari Raja Tonggo Tua Sinambela).

Jadi, kalau dari segi usia yang hanya terpaut satu tahun lebih muda dari saya, cicit kandung Raja Sisingamangajara ke-12 ini adalah adik sepupu kandung saya.

Kakek kami Almarhum Somuntul Bungajalan Pasaribu, pengusaha pertama yang merintis alat transportasi BUS jarak jauh di kampung halamannya dan diberi julukan “TUAN SARIBURAJA”. Dan pada era Orde baru, dianugerahi gelar Perintis Kemerderkaan. Belasan kali dalam masa penjajahan Jepang, kakek kami ini harus bolak baik mendekam di penjara karena keberaniannya membela kepentingan Indonesia.

Ia memiliki 1 orang kakak perempuan yaitu Saur Sinar Romauli Boru Sinambela, menikah dengan Oloan Sitorus – yang bertugas di BPKP Kalimantan Timur. Saur, lebih tua 3 tahun dari saya. Dan dari pernikahannya, Saur memiliki 5 orang anak perempuan.

Ada kegetiran dalam perjalanan panjang kehidupan Saur dan Tonggo. Kedua sepupu saya ini memang memiliki “darah biru”. Ada keistimewaan dalam diri mereka yaitu lahir sebagai cicit kandung RAJA SISINGAMANGARAJA Ke-12. Walau mereka memiliki darah biru tetapi hidup mereka — terutama Tonggo — penuh dengan duka yang berkepanjangan. Ia tak sempat mengenal sang ayah. Dan saat memasuki masa dewasa, ia harus kehilangan sang ibu untuk selama-lamanya. Kedua sepupu saya ini, kini hidup sebagai anak yatim piatu. Kembali pada masalah kedua sepupu saya keturunan Raja Sisingamangaraja ke-12 tadi, Saur, kelahiran tahun 1968 dan Tonggo kelahiran tahun 1972.

Yang saya tahu, tante saya sebenarnya dijodohkan dengan cucu Raja Sisingamangaraja Ke-12 yang bernama Raja Patuan Sori Sinambela. Dari segi fisik, Almarhum Om Patuan sangat tinggi sekali (sekitar 180 cm). Sedangkan Tante Maria, tinggi badannya sekitar 150 cm.

Tonggo – begitu adik sepupu saya itu biasa dipanggil – dari kecil sampai beranjak dewasa, ada bersama keluarga besar kami.



Raja Tonggo Tua Sinambela

Raja Tonggo Tua Sinambela

Isteri dari Raja Sisingamangaraja I adalah Boru Pasaribu. Ada semacam stigma buruk yang tak hanya sekedar menjadi halusinasi bagi TRAH BIRU SISINGAMANGARAJA.

Dari mulai urutan I sampai ke XII, ada semacam kesialan – saya tidak terlalu yakin apakah ini pantas ini pantas disebut sebagai sebuah kutuksan dari Dinasti Pasaribu yang ada di seputaran kehidupan Raja Sisingamangaraja I dulu – bahwa setiap keturunan langsung Sisingangamangaraja yang mendapatkan tampuk kepemimpinan secara “roh” maka akan kehilangan figur lelaki dari rumah tangga yang dibentuk.

Kalau bukan sang ayah, maka anak lelaki yang ada dalam kandungan sang isteri akan mati. Kabarnya ini yang terjadi terus menerus. Tetapi, hanya akan menimpa turunan yang mendapatkan tampuk kepemimpinan secara “roh”.

Walau Tante Maria dijodohkan dengan Cucu Kandung RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12, rumah tangga mereka sangat harmonis. Mesra sekali. Ini tergambar dalam dokumentasi foto-foto keluarga.

Pasangan muda ini tinggal di Jakarta, yaitu di daerah Menteng Dalam, Didaerah dekat Mesjid Bundar Jakarta Selatan. Rumah itu kabarnya dipermudah kepemilikannya setelah mengetahui bahwa yang akan menempati adalah CUCU RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12.

Anak pertama pasangan Raja Patuan Sori Sinambela dan Maria Magdalena Pasaribu (tante saya) adalah anak perempuan. Sehingga, kutukan tadi tak terjadi.

Saur, sangat beruntung sebab dari berbagai foto yang ada tampak bahwa ia sangat disayang luar biasa oleh ayah dan ibunya. Saya ingat, ada foto Saur dimandikan oleh ayah di luar rumah dengan menggunakan ember dan senyuman yang sangat manis menghiasai keluarga bahagia ini. Saat Tante saya hamil anak kedua, mulailah kutukan itu menimpa datang. Anak lelaki yang ada dalam kandungan Tante Maria meninggal dunia.

Memasuki Tahun 1972, Tante Maria hamil kembali. Dan anak yang ada dalam kandungannya adalah anak laki-laki. Seminggu sebelum Raja Tonggo Tua Sinambela lahir, sang ayah meninggal dunia karena kecelakaan lalulintas yaitu vespa yang dikendarainya mengalami tabrakan yang sangat fatal.

Dalam keadaan hamil tua, Tante Maria mengantarkan jenazah sang suami tercinta ke tempat peristirahatannya yang terakhir yaitu di Komplek Pemakaman Sisingamangaraja Ke-12. Raja Tonggo Tua Sinambela lahir tanggal 24 Desember 1972.

*****
Raja Sisingamangaraja Ke-12

Raja Sisingamangaraja Ke-12

Untuk membesarkan kedua anaknya ini, Tante Maria bekerja sebagai pegawai Bank Rakyat Indonesia (BRI) Medan. Ia sangat sering mengunjungi keluarga kami sebab memang hanya ibu saya satu-satunya saudara sekandung dari Tante Maria ini.

Ia memanggil Saur, anak perempuannya yang sulung dengan sebutan “Kakak” dan memanggil Tonggo dengan sebutan “Adek”.

Dari lahir, Tonggo tidak boleh memakan daging babi dan apapun yang berbau darah. Kadang bila tidak sengaja, termakan daging babi karena ada restoran tertentu di Medan yang menggunakan minyak babi sebagai minyak untuk menggoreng, maka biasanya sekujur badan Tonggo akan merah-merah seperti terkena sakit kulit.

Kalau sudah begitu, sang ibu akan segera mencari waktu yanh terbaik untuk membawa Tonggo ke Balige untuk dimandikan di makam sang ayah tercinta dengan menggunakan jerut purut. Biasanya, kalau ritual itu dilakukan maka “sakit kulit” akibat makan babi tadi akan hilang dengan sendirinya.

Walau tidak sempat mengenal sang ayah, foto dari Raja Patuan Sori Sinambela menghiasi kamar Tonggo sejak ia kecil. Dari mulai TK, SD, SMP sampai SMA, semua dilewati di kota Medan oleh Raja Tonggo Tua Sinambela.

Saat memasuki Perguruan Tinggi, Tonggo memilih kuliah di Jurusan Teknik Mesin Universitas Tarumanegara Jakarta.

Yang tak bisa saya lupakan adalah saat Tante Maria meninggal dunia bulan September 1993. Ketika itu Tonggo sudah di Jakarta. Kami juga di Jakarta karena ayah saya bertugas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Pengusaha terkenal, Tarnama Sinambela yang tinggal didaerah Gunung Sahari, langsung memberikan bantuan uang tunai agar Tonggo bisa secepatnya pulang ke Medan untuk menghadiri upacara pemakaman ibunda tercintanya.

Sejak mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia, Tonggo hanya diam saja. Belum ada reaksi yang sangat dramatis dari dirinya. Jenazah Tante saya itu, sempat disemayamkan beberapa hari di rumah kami yang ada di daerah Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan Medan.

Sebab, ibu saya sedang berada di Belanda sehingga harus menunggu kepulangannya ke tanah air. Berbeda dengan Tonggo, sejak mendapat kabar bahwa adik satu-satunya meninggal dunia maka dari Bandar Schipol Amsterdam ibu saya menangis tanpa henti.

Ia merasa bersalah sebab beberapa bulan sebelumnya ia sempat merasa sakit hati dan marah sebagai seorang kakak. Pasalnya, ia mengajak adiknya ini untuk ikut ke Belanda. Ibu saya ingin agar di Belanda, adiknya menjalani pemeriksaan dan pengobatan penyakit kanker rahim.

Ya, Tante Maria mengidap penyakit kanker rahim.

Tetapi ajakan dari ibu saya ditolak secara halus oleh Tante Maria. Ia katakan, “Kakak, biarlah aku tetap di Medan. Pergilah ke Belanda. Lihatlah Barce dan Happy, sampaikan salam sayang aku kepada mereka”.

Barce, adalah abang saya yang sulung dan ketika itu sedang menyelesaikan pendidikan S-2 dengan beasiswa dari lembaga donatur asing. Dan Happy adalah isteri dari abang saya, yang ikut mendampingi suaminya bersekolah di Delft, Belanda.

Bang Barce yang secara intens mendampingi Tonggo saat itu, terutama terus mengajaknya untuk lebih banyak berserah diri kepada Tuhan dan banyak berdoa.

Makam Raja Sisingamangaraja Ke-12 Di BALIGE, Di Komplek Makam inilah Ibunda Tonggo dimakamkan

Makam Raja Sisingamangaraja Ke-12 Di BALIGE, Di Komplek Makam inilah Ibunda Tonggo dimakamkan

Tante Maria, dimakamkan satu liang dengan sang suami tercinta, Raja Patuan Sori Sinambela. Dan di liang yang sama, ada tulang-belulang dari RAJA BUNTAL SINAMBELA, ayah dari Raja {Patuan Sori Sinambela).



RAJA BUNTAL adalah anak kandung dari RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12. Saya ikut mengantarkan jenazah Tante Maria sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Ia, sudah seperti ibu saya sendiri. Selalu ada kesedihan yang terasa sangat menusuk di relung hati, setiap mengisahkan kepribadian atau kenangan mengenai Tante saya ini. Ia pribadi yang sangat santun sekali. Tenang. Pendiam. Dan ada semacam sifat keibuan yang sangat lembut luar biasa terpancar dari dirinya.

Saat peti matinya akan dimasukkan ke liang kubur, adik saya Tonggo baru “tersadarkan” bahwa sang ibu benar-benar sudah tidak ada.

Hanya tinggal beberapa menit peti mati akan dimasukkan ke liang kubur, Tonggo menangis meraung-raung dan berguling-guling. Semua terkejut. Termasuk Saur, sang kakak.

Kami terkesima. Jadi ternyata, sejak detik pertama ia mendengar kabar bahwa ibunya meninggal dunia, Tonggo tidak percaya. Dan saat ia melihat langsung jenazah ibunya terbujur kaku, ternyata ia masih tetap tidak percaya.

Saya masih ingat sekali, persis menjelang ibunya dimakamkan itulah, Tonggo memangis berteriak-teriak kepada kakaknya – Saur –.

“Bangunkan Mama Kak, bangunkan Mama, Ma … bangun … jangan tidur terus. Bangun Ma, Bangun … Jangan tinggalkan Aku,”.

Dan dia marah luar biasa saat melihat peti mati sang ibu akan dimasukkan ke liang kubur. Tonggo mengalami guncangan yang hebat. Orang yang begitu ia cintai sepanjang hidupnya harus berpisah untuk selama-lamanya.

Ia tak pernah mengenal sang ayah karena sudah meninggal dunia hanya seminggu sebelum ia dilahirkan ke dunia ini. Sehingga, saat ibu yang sangat ia cintai meninggal dunia, Tonggo sangat terpukul dan mengalami guncangan yang hebat didalam hatinya.

Ketika itu, abang saya yang sulung – Barce (yang sedang menyelesainya sekolah S-2 di Delft Belanda), datang secara khusus untuk ikut memakamkan Tante Maria.

Bang Barce yang terus secara intens mendampingi Tonggo. Mengajaknya berdoa, bicara dan terus memberikan nasihat yang mampu membangkitkan semangat dalam diri Tonggo.

*****
Raja Sisingamangaraja Ke-12

Raja Sisingamangaraja Ke-12

Saya dan Tonggo, adalah teman sepermainan sejak kecil. Dari dibesarkan sama-sama. Masa kecil hingga remaja dari kehidupan Tonggo, ada bersama keluarga kami. Sebab, Tante Maria, Saur dan Tonggo tinggal bersama kami. Ada ikatan bathin yang sangat kuat sekali antara kami.

Saat saya menikah tahun 1999, selama lebih dari 4 tahun saya mendiami rumah Almarhum Om Patuan & Tante Maria yaitu rumah yang mereka tempati saat baru menikah.

Di rumah itulah, jenazah Om Patuan disemayamkan dan diberangkatkan ke Medan tahun 1971. Tetangga-tetangga disekitar rumah itu banyak bercerita bahwa saat rumah itu kosong, ada kesan angker. Lalu saat tukang merenovasi rumah itu karena saya akan tinggal disitu (tahun 1999), salah seorang tukang sempat ketakutan dan berteriak-teriak karena ia memihat “bayangan gelap” yang tinggi besar melintas.

Tetapi selama lebih dari 4 tahun saya mendiami rumah itu, tak ada sedikitpun kesan angker atau hal-hal yang berbau horor. Rumah itu damai sekali. Kami terpaksa pindah dari rumah itu karena tahun 2004, Saur & Tonggo memutuskan untuk menjual rumah itu.

Saat ini, Tonggo tinggal di Medan. Ia akan memulai usaha baru di tahun 2009 ini. Ia tinggal di Jalan Jamin Ginting (Padang Bulan) Medan. Kakak perempuannya sedang bersiap untuk pindah ke Samarinda, Kalimantan Timur. Sebab suami Saur mendapat penugasan baru ke daerah tersebut setelah selama belasan tahun bertugas di BPKP Medan.

Secara fisik, yang sangat khas dari Tonggo sebagai keturunan langsung RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12 adalah postur tubuhnya yang sangat tinggi sekitar (185 cm) dan brewokan. Kalau Tonggo tidak mencukur kumis dan brewoknya, maka ia akan sama seperti penampilan wajahnya dengan sang kakek buyut yang terkenal yaitu RAJA SISINGAMANGAJARA KE-12.

*****

Ketika sang kakak yaitu Saur berbicara dengan saya lewat sambungan telepon bulan lalu, Saur mengeluhkan bahwa sampai saat ini Tonggo belum mau menikah.

Saya katakan, “Sudahlah Ur, Tonggo itu sudah besar. Tidak usah dicampuri sampai ke masalah perkawinan segala. Semua ada waktunya. Biarkan saja. Tidak ada orang yang bisa mengetahui isi hati yang sebenarnya dari orang lain, walaupun itu adik kandung sendiri. Siapa yang biasa tahu, kalau misalnya sampai saat ini Tonggo masih sangat terluka hatinya karena harus menjadi anak yatim piatu ? Jangan bicara terlalu keras dan jangan terlalu memaksakan untuk urusan perkawinan. Biarkan saja. Sebagai kakak, jadilah pendengar yang baik,” begitu nasihat saya kepada Saur.

Saya juga berbicara dengan Tonggo lewat saluran telepon pada bulan Februari lalu. Dan berbeda dengan Saur, saya tidak ingin menanyakan mengapa ia belum mau menikah. Kami bicara masalah lain yang menjadi perkembangan terakhir di tanah air.

Sebagai “kakak”, saya belum bisa melupakan bagaimana sedihnya tangisan dan teriakan Tonggo belasan tahun yang silam saat peti mati ibunya akan dimasukkan ke liang kubur.

Saya dapat merasakan bagaimana rasa kehilangan yang hebat mendera hati adik saya ini. Tonggo yang memegang dan menyimpan cicin kawin dari almarhum ayah dan ibunya. Dan saya dengar dari Saur, di dompet Tonggo masih tetap terpasang foto ibu mereka.

Jangankan Tonggo, saya saja akan tetap menangis bila mengingat atau merindukan tante saya Maria.

Kami pernah sama-sama ke DI Yogyakarta. Saya, Tante Maria, Saur & Tonggo. Ketika itu, WENDY, kakak perempuan saya (anak kedua dalam keluarga saya) sedang diopname karena terserangan sakit thypus. Di sela-sela keberadaan kami di Jogja, kami sempat mengunjungi beberapa objek wisata di kawasan Jawa Tengah.

Walau telah belasan tahun berlalu, tetap ada rasa “MISSING” yang mengusik di hati. Itu sebabnya saya dapat memahami, bagaimana hebatnya kerinduan Tonggo pada sang ibu.

*****

Uang pecahan seribu rupiah yang pernah diterbitkan bergambar Raja Sisingamangaraja Ke-12

Uang pecahan seribu rupiah yang pernah diterbitkan bergambar Raja Sisingamangaraja Ke-12

Untuk menutup tulisan ini, yang dapat saya katakan adalah Tonggo memiliki aura kepemimpinan yang sangat kuat.

Saya bangga ketika ia secara tegas mengecam pihak tertentu yang sengaja membawa dan menunjukkan simbol-simbol dan atribut-atribut RAJA SISINGAMANGAJARA KE-12 untuk dipakai dalam demo anarkis di Gedung DPRD Sumatera Utara awal Februari lalu.

Ia marah karena ada pihak tertentu yang patut dapat diduga sengaja ingin “menjual” nama SISINGAMANGARAJA untuk kepentingan politik.

Sebagai cicit kandung, wajar jika ia marah saat nama baik dan kehormatan dari RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12 tercederai akibat ulah oknum tertentu. Bayangkan, kejadian itu samasekali tidak diketahui atau direstui oleh PIHAK KELUARGA SISINGAMANGARAJA KE-12.

Tonggo ingin agar semua pihak memperjuangkan aspirasinya sesuai dengan ketentuan, aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Bukan dengan cara yang anarkis dan yang melanggar hukum.

Saya dapat memahami maksud dan tujuan Tonggo berbicara secara keras dan tegas agar nama baik dan kehormatan RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12 tidak dikotori, diusik atau dirusak oleh pihak manapun juga.

Bukan cuma karena RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12 adalah pahlawan nasional.

Tetapi didalam diri Raja Tonggo Tua Sinambela ini mengalir darah Sang Raja yang sangat kharismatik dan hebat itu yaitu darah keberanian dan kepejuangan dari RAJA SISINGAMANGARAJA KE-12.





(MS)
sumber:http://katakamiredaksi.wordpress.com/2009/03/09/sisi-lain-raja-tonggo-tua-sinambela-cicit-kandung-raja-sisingamangaraja-ke-12-2/

Komentar

Postingan Populer