Langkah, Jahanam, Narasi Mardilena, Puisi- Puisi Jhon Fawer Siahaan !
JAKARTA, RIMANEWS -- Entah sihir apa yang ada pada profesi penyair hingga orang - orang tertarik menekuni bidang ini, dan bila mereka berorientasi pada nilai ekonomi tentu akan langsung menjadi ' Gila 'sebab profesi ini tak menjanjikan apa-apa. Penyair Binhad Nurrohmat dalam statusnya di jejaring sosial fb, menulis penyair saat ini mesti cetak buku sendiri dan memasarkannya dan dalam kesempatan lain dia mengatakan bahwa bila Prof Abdul Hadi WM mengandalkan hidup dari ' Kepenyairannya ' adalah nonsens, Bahkan kita tahu kelakuan " Si Binatang Jalang " yang mentraktir kawannya dari menjual barang yang dia pinjam dari kawannya itu. Begitulah nasib penyair di negeri ini, Radhar Panca Dahana malas nulis puisi sebab nilai ekonominya rendah, Tardji pernah marah " emang penyair makan kembang menyan " ketika mendapat uang senilai 2,5 jt dari Mendikbud Wardiman Djoyonegoro. ( W Kusumo Amboro, Pengamat Sastra Independent )
LANGKAH
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
/1/
Inikah suratan jalan, jika tak berlikuh mungkin lurus jika lurus tak mungkin berliku
Masih pada jalan ini kumulai langkah tertatih dengan jawap yang tiada, masih tetap bersama pada janji kata pada hari itu, aku tak melangkah karena kau, aku tak mau berkata pada langkah sebah langkah telah menghentikanku pada jalan setapak dengan waktu yang panjang, kita disini bersama menatap langit pagi dan senja, mungkin di langit ada jalan di bulan juga, kusambut tanah dengan kaki kanan, bukan mengertak bak langkah prajurit.
Inikah suratan jalan, jika tak berlikuh mungkin lurus jika lurus tak mungkin berliku
Masih pada jalan ini kumulai langkah tertatih dengan jawap yang tiada, masih tetap bersama pada janji kata pada hari itu, aku tak melangkah karena kau, aku tak mau berkata pada langkah sebah langkah telah menghentikanku pada jalan setapak dengan waktu yang panjang, kita disini bersama menatap langit pagi dan senja, mungkin di langit ada jalan di bulan juga, kusambut tanah dengan kaki kanan, bukan mengertak bak langkah prajurit.
/2/
Kita sudah lama belum juga beranjak, aku tak bisa juga berbicara pada tanah dan langit dan senja, kutatap bulan muram tak mulai redup itu pertanda gerhana katannya tapi hari ini bukanlah gerhana, mari kita belajara kan guratan tangan dan kaki ajakmu padaku, bersma kita membaca lekukan tanganmu dan garis-garis kecil yang ada di tanganmu, hari sudah sore tak bagus bercerita di luar azan telah tiba, kita membuka rumah dan masuk.
Kita sudah lama belum juga beranjak, aku tak bisa juga berbicara pada tanah dan langit dan senja, kutatap bulan muram tak mulai redup itu pertanda gerhana katannya tapi hari ini bukanlah gerhana, mari kita belajara kan guratan tangan dan kaki ajakmu padaku, bersma kita membaca lekukan tanganmu dan garis-garis kecil yang ada di tanganmu, hari sudah sore tak bagus bercerita di luar azan telah tiba, kita membuka rumah dan masuk.
/3/
Goresan tanganmu mimpi indah kelak, tapi begitu banyak garis tangan yang kau baca masih tetap sama, jikalah aku punya garis tangan yang bisa kau jawab tapi bagaimana meraka yang tidak punya, kita terdiam dan tak bisa menjawab, kita menenangkan kesunyian dengan sebatang rokok, dengan asap mengepul membawa suasana malam menjadi makin kelabu
Goresan tanganmu mimpi indah kelak, tapi begitu banyak garis tangan yang kau baca masih tetap sama, jikalah aku punya garis tangan yang bisa kau jawab tapi bagaimana meraka yang tidak punya, kita terdiam dan tak bisa menjawab, kita menenangkan kesunyian dengan sebatang rokok, dengan asap mengepul membawa suasana malam menjadi makin kelabu
/4/
Sudahlah kita berjiarah saja mungkin rizki kita disana telah lama kita menjauh kita mendekatkan diri, kita makan bersama dengan doa mungkin itu cukup untuk langkahmu, hari berganti hari, tiada juga, jalan yang kau tempuh masih saja, bergejolak dada apa salah langkahku…
2011-2012
Medan
Sudahlah kita berjiarah saja mungkin rizki kita disana telah lama kita menjauh kita mendekatkan diri, kita makan bersama dengan doa mungkin itu cukup untuk langkahmu, hari berganti hari, tiada juga, jalan yang kau tempuh masih saja, bergejolak dada apa salah langkahku…
2011-2012
Medan
NARASI MARDILENA
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
/1/
Kumulai dengan tatapku, secuil senyum kulempar padamu yang begitu angkuh menatapku pada kejauhan, kutak berkata apa dibalik diamku padamu, kamu tak lebih apa bagiku, aku tak peduli, namun senyumku dan diamku menjadi gelisah untukku, padamu yang tidak berkunjung kata denganku.
Kumulai dengan tatapku, secuil senyum kulempar padamu yang begitu angkuh menatapku pada kejauhan, kutak berkata apa dibalik diamku padamu, kamu tak lebih apa bagiku, aku tak peduli, namun senyumku dan diamku menjadi gelisah untukku, padamu yang tidak berkunjung kata denganku.
/2/
masa menjadi waktu cerita saat malam tak punya cerita, tidak peduli engkau siapa yang diam disana, tatap angkuh kini berkunjung kata menjalin bait perbait, bak episode yang tak tuntas, kita masih punya kenangan di titik jalan yang tak kunjung akhir.
masa menjadi waktu cerita saat malam tak punya cerita, tidak peduli engkau siapa yang diam disana, tatap angkuh kini berkunjung kata menjalin bait perbait, bak episode yang tak tuntas, kita masih punya kenangan di titik jalan yang tak kunjung akhir.
/3/
Kita bisa bersama, mulai derap langkah yang kita mulai malam sebelumnya, kita berpadu kata lewat pesan-pesan singkat, ini bukanlah skenario yang kita desain serapi mungkin.
Kita bisa bersama, mulai derap langkah yang kita mulai malam sebelumnya, kita berpadu kata lewat pesan-pesan singkat, ini bukanlah skenario yang kita desain serapi mungkin.
/4/
Kita bersama kembali mengulang kata, kembali pada masa kecil dengan keluguan, kutitip pesan di balik kertas, kuantar dalam selipan, kadang ini aneh, tapi cukup berbeda, kata tulus mengalir menjadi sajak-sajak malam tentang perenunganku akan dirimu. Tapi kembaliku berminta maaf akan hayalku tentang bayangmu.
Kita bersama kembali mengulang kata, kembali pada masa kecil dengan keluguan, kutitip pesan di balik kertas, kuantar dalam selipan, kadang ini aneh, tapi cukup berbeda, kata tulus mengalir menjadi sajak-sajak malam tentang perenunganku akan dirimu. Tapi kembaliku berminta maaf akan hayalku tentang bayangmu.
/5/
Waktu menginginkanku berkata lain, tapi mulut tak bersambut gayung, terselip kertas di penghujung tahun atas hasrat, jawab “aku tak berani”, kumampukan di awal tahun, untuk satu jawab, kita masih bersama memulai derap langklah, dan menjalin kata, meski aku tak tahu akan bermuara kemana, meski engkau telah cukup jauh untuk menjalin kata, mari menanti waktu pada janjimu pada malam itu, aku tetap menunggu meski aku takut ketika kata itu tak bermuara.
Waktu menginginkanku berkata lain, tapi mulut tak bersambut gayung, terselip kertas di penghujung tahun atas hasrat, jawab “aku tak berani”, kumampukan di awal tahun, untuk satu jawab, kita masih bersama memulai derap langklah, dan menjalin kata, meski aku tak tahu akan bermuara kemana, meski engkau telah cukup jauh untuk menjalin kata, mari menanti waktu pada janjimu pada malam itu, aku tetap menunggu meski aku takut ketika kata itu tak bermuara.
/6/
Penantian
Penantian
Medan, 21.05 wib, 16 Januari 2013
JAHANAM
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
Oleh : Jhon Fawer Siahaan
Dijalanan mereka mengutip bekal
Jika mereka sudih maka aku dapat
Mereka adalah kami yang lapar bersama
Tidak ada kata
berjalan mengelilingi sepanjang jalan
Mereka telah lupa pada kami
Yang dulu lahir bersama-sama tak ada yang beda
Mari menjarah jiwa yang tak lagi bersama.
Jika mereka sudih maka aku dapat
Mereka adalah kami yang lapar bersama
Tidak ada kata
berjalan mengelilingi sepanjang jalan
Mereka telah lupa pada kami
Yang dulu lahir bersama-sama tak ada yang beda
Mari menjarah jiwa yang tak lagi bersama.
Medan, 25 January 2013
*) John Fawer Siahaan adalah seniman sekaligus praktisi kesenian, ia bermain teater dan performance di Taman Ismail Marzuki dan terakhir di Pelataran Candi prambanan versi lain dari Sendratari Ramayana, ia juga menulis puisi dan terlibat dengan aktifitas teater di tempat tinggalnya. (Wrh/RIMA)
sumber:http://www.rimanews.com/read/20130126/89729/langkah-jahanam-narasi-mardilena-puisi-puisi-jhon-fawer-siahaan
Komentar
Posting Komentar